SILVIKULTUR HUTAN TANAMAN
JOHN ANDERSON SINAGA
ILMU KEHUTANAN
2014
1. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia
Tidak ada catatan resmi mengenai awal kegiatan eksploitasi hutan di Nusantara
sebelum jaman penjajahan Belanda. Pada jaman kerajaan di Jawa, awal abad ke
delapan hingga abad ke-16, telah dilakukan eksploitasi hutan untuk pembangunan
kerajaan dan sarana ibadah. Jaman penjajahan Belanda diawali dengan kedatangan
VOC pada tahun 1650. Pada masa inilah, eksploitasi hutan di Nusantara mulai
tercatat (Ngadiono, 2004). Sejarah kehutanan mencatat pengusahaan kehutanan di
Sumatera telah dimulai sejak tahun 1870. Pengusahaan rawa gambut dilakukan
dengan sistem panglong, yaitu menebang pohon meranti, punak dan kelat untuk kayu
pertukangan. Eksploitasi hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada
umumnya dilakukan dengan sistem limit diameter 50-60 cm tanpa perlakuan silvikultur
(Anonim, 1986).
Pada zaman setelah kemerdekaan, pengusahaan hutan alam di luar Jawa dilakukan
dengan sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam (Soedarmo et al., 1956; PPHI,
1958). Untuk menjaga kelestarian hutan alam produksi di luar Jawa dilakukan
penebangan secara selektif dengan rotasi 60 tahun (Direktorat Pengusahaan Hutan,
1968).
Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan
sistem tebang pilih atau tebang habis. Tetapi untuk menjamin kelestarian hutan, maka
pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan secara tebang pilih, dan
permudaan dilakukan secara alam dan buatan (Peraturan Pemerintah No. 21 tahun
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan).
Menurut Soerianegara (1971) karena hutan hujan tropika pada umumnya
berkomposisi campuran serta banyaknya jenis-jenis pohon yang komersial terbatas,
maka cara tebang pilih akan lebih umum dipakai. Untuk menjamin kelestarian
produksi hutan harus ditentukan cara dan waktu penebangan dan permudaan hutan
diatur dalam suatu sistem yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan keadaan hutan,
baik komposisi, struktur maupun keadaan ekologisnya. Pemilihan dan penggunaan
sistem silvikultur ditentukan oleh syarat-syarat penggunaan sistem masing-masing,
Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia
9
komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan
nilai ekonomis hutan, cara penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan.
Mengingat keadaan hutan-hutan di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat
lain, pemilihan sistem silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut
kondisi hutan setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan
dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Lebih lanjut Soerianegara (1971) menjelaskan bahwa karena di Indonesia waktu itu
sedikit sekali pengalaman yang telah didokumentasikan dalam hal permudaan hutan
alam hutan hujan tropika, maka hasil-hasil penelitian dan pengamalan di negaranegara
tropika lain dipakai sebagai pertimbangan pemilihan sistem silvikultur di
Indonesia seperti Modified selection system dan Malayan clear-felling over natural
regeneration, sedangkan enrichment planting terutama digunakan dalam rangka
restocking tegakan hutan sekunder.
Pada tahun 1972 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
No 35/Kpts/DD/1/1972 lahirlah Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedomanpedoman
Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia (TPI) merupakan perpaduan
sistem-sistem silvikultur berdasarkan (i) tebang pilih dengan batas minimum diameter
tertentu (50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun), (ii) penyempurnaan hutan dengan
tanaman sulaman (enrichment), dan (iii) pembinaan permudaan dengan pembebasan
dari tumbuhan pengganggu (refining). Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan
mempertimbangkan (a) azas kelestarian hutan (b) teknik silvikultur yang sesuai
dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta (c) sifat tumbuh jenis pohon
tertentu.
Sistem silvikultur TPI terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 21/1970.
Menurut Soerianegara (1992), limit (batas) diameter yang digunakan ialah lazim
digunakan dalam eksploitasi hutan luar jawa. Rotasi (siklus) tebang ditentukan
berdasarkan perkiraan bahwa riap diameter pohon pada tegakan bekas tebangan
ialah 1 cm per tahun. Angka ini didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan
bekas tebangan di Sumatera Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona,
yang menyebutkan riap diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar
didasarkan pada perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm
minimal 5 m3, sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal
25 x 25 m3/ha atau 125 m3/ha.
Menurut Soerianegara (1992) tim penyusun TPI waktu itu telah menyadari
ketidaksempurnaan dari naskah-naskah yang telah disusun itu, dan mengharapkan
Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia
10
agar penerapan dari paraturan-peraturan eksploitasi itu diikuti dengan penelitian
berikutnya yang hasilnya dapat memperbaiki peraturan yang ada.
Dengan makin banyaknya penelitian tentang TPI, maka Lokakarya Tebang Pilih
Indonesia di Yogyakarta, 23-24 Juni 1980, telah mengeluarkan saran-saran untuk
penyempurnaan TPI (Sastrosumarto, et al., 1980 dalam Soerianegara, 1992). Yang
terpenting dalam penyempurnaan tersebut adalah batas diameter terendah pohon
dapat diturunkan sampai 20 cm, karena ternyata riap pohon berdiameter 10 cm
keatas ialah lebih dari 1 cm per tahun.
Revisi pertama buku Pedoman Tebang Pilih Indonesia (Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi, 1980) menyangkut batas diameter tebangan, jumlah pohon inti yang
harus ditinggalkan, siklus tebangan dan jatah tahunan pada sistem silvikultur TPI.
Dalam revisi pertama telah dilakukan penurunan batas diameter terendah dari pohon
inti untuk hutan alam campuran. Perubahan tersebut membedakan tipe hutan menjadi
hutan alam campuran, hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Khusus
untuk hutan ramin campuran, batas diameter tebang adalah 35 cm, jumlah minimal
pohon inti 15 (khusus untuk jenis pohon ramin, sisanya 10 batang/ha dari jenis pohon
perdagangan lainnya), diameter minimal pohon inti 20 cm, sikus tebang pohon inti
35 tahun dan jatah tebangan tahunan 1/35 x 80% massa tegakan.
Penyempurnaan sistem TPI selanjutnya dilakukan dengan pembentukan Tim/Panitia
oleh Departemen Kehutanan yang hasilnya berupa Keputusan Menteri Kehutanan
No. 485/Kpts-II/1989 mengenai Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi
di Indonesia, dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/KPTS/IVBPHH/
1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) beserta
Lampirannya.
Pada tanggal 9 Pebruari 2009 keluar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi (IUPHHK - HP). Terdapat perubahan yang
mendasar pada Sistem Silvikultur yang akan diterapkan. Sistem silvikultur yang dipilih
dan diterapkan berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan hutan. Sistem
Silvikultur berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan
seumur dan tidak seumur. Sedangkan berdasarkan pemanenan hutan terdiri dari
sistem tebang pilih dan sistem tebang habis. Sistem silvikultur tegakan seumur
dilakukan melalui tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dan atau tebang
habis dengan permudaan alam (THPA). Sistem silvikultur tegakan tidak seumur
dilakukan melalui tebang pilih individu (TPTI), tebang kelompok (Tebang Rumpang)
dan sistem jalur (TPTJ).
sebelum jaman penjajahan Belanda. Pada jaman kerajaan di Jawa, awal abad ke
delapan hingga abad ke-16, telah dilakukan eksploitasi hutan untuk pembangunan
kerajaan dan sarana ibadah. Jaman penjajahan Belanda diawali dengan kedatangan
VOC pada tahun 1650. Pada masa inilah, eksploitasi hutan di Nusantara mulai
tercatat (Ngadiono, 2004). Sejarah kehutanan mencatat pengusahaan kehutanan di
Sumatera telah dimulai sejak tahun 1870. Pengusahaan rawa gambut dilakukan
dengan sistem panglong, yaitu menebang pohon meranti, punak dan kelat untuk kayu
pertukangan. Eksploitasi hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada
umumnya dilakukan dengan sistem limit diameter 50-60 cm tanpa perlakuan silvikultur
(Anonim, 1986).
Pada zaman setelah kemerdekaan, pengusahaan hutan alam di luar Jawa dilakukan
dengan sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam (Soedarmo et al., 1956; PPHI,
1958). Untuk menjaga kelestarian hutan alam produksi di luar Jawa dilakukan
penebangan secara selektif dengan rotasi 60 tahun (Direktorat Pengusahaan Hutan,
1968).
Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan
sistem tebang pilih atau tebang habis. Tetapi untuk menjamin kelestarian hutan, maka
pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan secara tebang pilih, dan
permudaan dilakukan secara alam dan buatan (Peraturan Pemerintah No. 21 tahun
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan).
Menurut Soerianegara (1971) karena hutan hujan tropika pada umumnya
berkomposisi campuran serta banyaknya jenis-jenis pohon yang komersial terbatas,
maka cara tebang pilih akan lebih umum dipakai. Untuk menjamin kelestarian
produksi hutan harus ditentukan cara dan waktu penebangan dan permudaan hutan
diatur dalam suatu sistem yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan keadaan hutan,
baik komposisi, struktur maupun keadaan ekologisnya. Pemilihan dan penggunaan
sistem silvikultur ditentukan oleh syarat-syarat penggunaan sistem masing-masing,
Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia
9
komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan
nilai ekonomis hutan, cara penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan.
Mengingat keadaan hutan-hutan di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat
lain, pemilihan sistem silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut
kondisi hutan setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan
dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Lebih lanjut Soerianegara (1971) menjelaskan bahwa karena di Indonesia waktu itu
sedikit sekali pengalaman yang telah didokumentasikan dalam hal permudaan hutan
alam hutan hujan tropika, maka hasil-hasil penelitian dan pengamalan di negaranegara
tropika lain dipakai sebagai pertimbangan pemilihan sistem silvikultur di
Indonesia seperti Modified selection system dan Malayan clear-felling over natural
regeneration, sedangkan enrichment planting terutama digunakan dalam rangka
restocking tegakan hutan sekunder.
Pada tahun 1972 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
No 35/Kpts/DD/1/1972 lahirlah Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedomanpedoman
Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia (TPI) merupakan perpaduan
sistem-sistem silvikultur berdasarkan (i) tebang pilih dengan batas minimum diameter
tertentu (50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun), (ii) penyempurnaan hutan dengan
tanaman sulaman (enrichment), dan (iii) pembinaan permudaan dengan pembebasan
dari tumbuhan pengganggu (refining). Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan
mempertimbangkan (a) azas kelestarian hutan (b) teknik silvikultur yang sesuai
dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta (c) sifat tumbuh jenis pohon
tertentu.
Sistem silvikultur TPI terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 21/1970.
Menurut Soerianegara (1992), limit (batas) diameter yang digunakan ialah lazim
digunakan dalam eksploitasi hutan luar jawa. Rotasi (siklus) tebang ditentukan
berdasarkan perkiraan bahwa riap diameter pohon pada tegakan bekas tebangan
ialah 1 cm per tahun. Angka ini didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan
bekas tebangan di Sumatera Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona,
yang menyebutkan riap diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar
didasarkan pada perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm
minimal 5 m3, sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal
25 x 25 m3/ha atau 125 m3/ha.
Menurut Soerianegara (1992) tim penyusun TPI waktu itu telah menyadari
ketidaksempurnaan dari naskah-naskah yang telah disusun itu, dan mengharapkan
Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia
10
agar penerapan dari paraturan-peraturan eksploitasi itu diikuti dengan penelitian
berikutnya yang hasilnya dapat memperbaiki peraturan yang ada.
Dengan makin banyaknya penelitian tentang TPI, maka Lokakarya Tebang Pilih
Indonesia di Yogyakarta, 23-24 Juni 1980, telah mengeluarkan saran-saran untuk
penyempurnaan TPI (Sastrosumarto, et al., 1980 dalam Soerianegara, 1992). Yang
terpenting dalam penyempurnaan tersebut adalah batas diameter terendah pohon
dapat diturunkan sampai 20 cm, karena ternyata riap pohon berdiameter 10 cm
keatas ialah lebih dari 1 cm per tahun.
Revisi pertama buku Pedoman Tebang Pilih Indonesia (Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi, 1980) menyangkut batas diameter tebangan, jumlah pohon inti yang
harus ditinggalkan, siklus tebangan dan jatah tahunan pada sistem silvikultur TPI.
Dalam revisi pertama telah dilakukan penurunan batas diameter terendah dari pohon
inti untuk hutan alam campuran. Perubahan tersebut membedakan tipe hutan menjadi
hutan alam campuran, hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Khusus
untuk hutan ramin campuran, batas diameter tebang adalah 35 cm, jumlah minimal
pohon inti 15 (khusus untuk jenis pohon ramin, sisanya 10 batang/ha dari jenis pohon
perdagangan lainnya), diameter minimal pohon inti 20 cm, sikus tebang pohon inti
35 tahun dan jatah tebangan tahunan 1/35 x 80% massa tegakan.
Penyempurnaan sistem TPI selanjutnya dilakukan dengan pembentukan Tim/Panitia
oleh Departemen Kehutanan yang hasilnya berupa Keputusan Menteri Kehutanan
No. 485/Kpts-II/1989 mengenai Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi
di Indonesia, dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/KPTS/IVBPHH/
1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) beserta
Lampirannya.
Pada tanggal 9 Pebruari 2009 keluar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi (IUPHHK - HP). Terdapat perubahan yang
mendasar pada Sistem Silvikultur yang akan diterapkan. Sistem silvikultur yang dipilih
dan diterapkan berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan hutan. Sistem
Silvikultur berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan
seumur dan tidak seumur. Sedangkan berdasarkan pemanenan hutan terdiri dari
sistem tebang pilih dan sistem tebang habis. Sistem silvikultur tegakan seumur
dilakukan melalui tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dan atau tebang
habis dengan permudaan alam (THPA). Sistem silvikultur tegakan tidak seumur
dilakukan melalui tebang pilih individu (TPTI), tebang kelompok (Tebang Rumpang)
dan sistem jalur (TPTJ).
No comments:
Post a Comment