Thursday, 23 October 2014

SISTEM SILVIKULTUR

SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA



JOHN ANDERSON SINAGA



ILMU KEHUTANAN
2014

A. Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI)
1. Digunakan rotasi tebang 35 tahun untuk pohon-pohon dari jenis-jenis kayu berharga, memiliki diameter diatas 50 cm yang diukur tepat 130 cm dari tanah (setinggi dada). Pohon dibawah diameter 50 cm dilarang ditebang selain karena merugikan pertumbuhan juga menimbulkan kerugian produktivitas hutan. Kecuali, disuatu bagian hutan yang keadaan tempat tumbuhnya tidak ditemukan persediaan kayu-kayu berdiamter 50 cm ke atas. Ukuran standar diameter dapat diturunkan menjadi 30 cm, tetapi rotasi berikutnya bertambah dari 35 tahun menjadi 55 tahun. Perubahan itu juga pada volume pohon inti untuk tegakan dari 25 cm menjadi 40 batang per hektar.
2. Ditunjuk pohon-pohon inti yang akan dibentuk tegakan utama pada rotasi tebangan berikutnya. Penunjukan yang diberi tanda (cat kuning) ditetapkan 25 batang pohon setiap hektar yang rata-rata berdiameter 35 ketas. Khusus, untuk pohon-pohon jenis penunjukan ini berlaku.
3. Pohon-pohon yang akan ditebang diberi tanda secara jelas meliputi nomor pohon dan arah rebahnya pohon. Kegunaannya untuk menyelamatkan pohon-pohon muda dari penebangan yang kurang hati-hati. Sehingga, menimbulkan kerusakan tegakan. Tanda nomor poho diletakkan setinggi 20 cm dari bawah, sedangkan arah tebang ditulis melintang sepanjang 20 cm dengan 3 cm di batang pohon yang akan ditebang.
4. Persemaian sudah harus disiapkan sebelum penebangan dimulai. Pengadaan bibit untuk disemaikan dapat berupa biji yang telah diseleksi maupun benih permudaan yang dikumpulkan dari hutan sendiri, luas persemaian harus disesuaikan dengan perimbangan luas kesatuan oprasional penebangan.
5. Untuk mengatasi kerusakan hutan akibat penebangan, maka ditentukan adanya tempat pengumpulan kayu sesuai luas areal tebangan dengan ukuran minimal jari-jari 30 m dan maksimal 40 m
6. Penyaradan kayu hasil penebangan harus dihindari timbulnya kerusakan pohon-pohon muda terutama pohon inti. Sedangkan, apabila digunakan traktor dalam penyaradan itu, harus disiapkan jalan angkutan kayu (jalan sarad), penyediaan jalan sarad ini juga memudahkan untuk ditentukan arah tebang atau jatuhnya pohon yang serah dengan jalan traktor yang akan dilalui penyaradan. Dalam kondisi hujan lokal, penyaradan tidak boleh dilakukan berulang kali mengingat kondisi tanah dan tingkat kemampuan jalan sarad.
7. Pengangkutan kayu dengan sistem penggunaan kabel spartree harus digunakan parit dan jurang sebagai jalan kabel utama. Jarak penyaradan untuk sistem ini hanya diizinkan antara 250-300 m. Sededangkan, jalankan kabel jumlahnya tidak boleh lebih dari 12 jalur. Untuk kelancaran pekerjaan, bila perlu digunakan pohon-pohon penahan selain pohon inti. Sebaliknya, jika ada pohon tebangan yang terhalang rebah ketanah, tidak boleh digunakan alat berat yang lebih besar untuk merebahkan pohon yang tersangkut itu.
8. Setelah dilakukan penebangan, setip petak harus di inventarisasi khususnya untuk mendata pohon-pohon inti dan pohon jenis komersil lainnya, yang berdiameter kurang dari standar penebangan. Untuk pohon inti harus diinventarisasi secara keseluruhan, sedangkan untuk jenis lain dapat dilakukan dengan cara sampling.
9. Pembebasan tumbuhan pengganggu, harus dilaksanakan untuk melindungi dan membantu pertumbuhan pohon-pohon muda. Untuk itu dilakukan dengan cara menata akar yang saling bersaing, ruang tumbuh dan pencahanyaan sinar matahari. Jenis tumbuhan pengganggu perlu dipotong ditebas atau diracun. Namaun, tumbuhan yang berfungsi sebagai pentup lapisan tanah dan pelindung pohon jenis komersil harus tetap tumbuh untuk menambah persediaan kayu bakar.
10. Bekas areal penebangan harus dibersihkan untuk selanjutnya dilakukan penyulaman yang bibitnya diambil dari persemaian. Terutama, dilakukan penyulaman pada tanah terbuka, bekas jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu. Disamping itu, penyulaman diharuskan pula pada areal hutan yang memiliki daya semai dan daya pancang untuk jenis pohon komersil
11. Melakukan pencegahan erosi akibat pembuatan parit jalan kabel dan bekas jalan traktor melalui pembuatan tunggal yang bergaris horizontal (melintang)
12. Setiap petak atau blok tebangan yang telah selesai pohonnya ditebang, tidak diizinkan lagi untuk melakukan penebangan ulang.
13. Untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan perladangan liar, penggembalaan ternak dihutan dan menghindari terjadinya kebakaran hutan, maka setiap kesatuan pemangkuan hutan atau areal HPH wajib mempekerjakan tenaga pengawas. Ditentukan bahwa untuk setiap pengawas atau penjaga hutan maksimal 5000 ha dengan kelipatan keatas. Artinya jika luasnya 10 ribu ha berarti harus ada minimal 2 orang tenaga penjaga hutan dan seterusnya.
14. Setelah berjalan 5 tahun selesainya penebangan, dilokasi bekas yang ditinggalkan harus dilakukan penyulaman ulang, pembebasan tanaman pengganggu, bahkan bila dianggap perlu dapat dilakukan penjarangan pohon.
B. Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI-1989)
Pedoman silvikultur berlaku sebagai aturan teknis yang dilaksanakan sejak tahun 1972, tetap masih dilanjutkan kemudian muncul sistem silvikultur baru dan hampir serupa yaitu didalam Kepmen Kehutanan RI Nomor 564 tahun 1989 tentang pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Kecuali untuk hutan payau, maka sistem TPTI dinilai tepat diguanakan untuk hutan alam produksi di indonesia. Tujuan TPTI meliptuti; pengaturan pemanfaatan hutan produksi, peningkatan nilai kualitas dan kauntitas hutan bekas tebangan untuk rotasi berikutnya, dan untuk membentuk hutan tegakan campuran yang dapat menghasilkan kayu penghara industri secara berkelanjutan.
Sasaran TPTI diarahkan pada: pengaturan komposisi jenis pohon dihutan yang lebih menguntungkan baik dari segi ekonomis, pengaturan struktur kerapatan tegakan optimal pohon guna peningkatan potensi produksi kayu bulat, terjamin fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air, serta terjamin fungsi perlindungan hutan
Ketentuan penataan areal kerja diatur untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan pengusahaan hutan pada blok kerja. Pemasangan tapal batas blok dan petak kerja hasil pengukuran digambar diatas peta. Sedangkan penataan areal kerja pada blok kerja tahuan dilaksanakan setiap 3 tahun sebelum dilakukan penebangan. Blok kerja dibagi menjadi petak kerja dan tiap-tiap petak luasnya sekitar 100 hektar.
Inventarisasi tegakan sebelum penebangan, bertujuan agar diketahui jumlah pohon inti, pohon yang dilindungi, dan potensi pohon yang akan ditebang. Pelaksanaannya dapat ditentukan calon pohon yang akan dipelihara samapai saat penebangan berikutnya. Dapat pula ditentukan jatah produksi tebangan tahunan pada blok kerja masing-masing pengusahaan intensitas 100% dilakukan dalam kegiatan inventarisasi ini. Pelaksanaan dilakukan dua tahun sebelum penebangan dilakukan (ET-2) dan hasilnya ditetapkan dalam skala 1: 2.000.
Untuk kepastian penebangan, setiap pohon harus diberi tanda silang bercat merah pada tinggi pohon 1,30 m dari tanah yang dicatat pada buku laporan. Sedangkan untuk pohon inti dan pohon yang dilindungi diberi tanda bercat kuning melingkari pohon pada ketinggian 1,30 m. setiap jenis dan diameter batang pohon inti dan pohon dilindungi, harus dicatat dalam buku laporan, sedikitnya ada 25 pohon per ha yang berdiameter 20 cm keatas dengan penyebaran yang merata. Sedangkan, untuk pohon yang akan ditebang inventarisasinya meliputi: nama jenis, diameter batang, tinggi batang yang bebas, dan tinggi banir.
Kegiatan PWH merupakan kegiatan untuk penyediaan sarana bagi produksi kayu dan kepentingan pembinaan hutan. Kegiatan antara lain, meliputi; pengukuran pemetaan, pembuatan dan pemeliharaan jalan angkutan dan jembatan. Urutan kegiatan diatur melalui jalur mencari dan menetapkan titik ikat, menyusun rencana blok kerja tahunan dan blok kerja lima tahuan, melakukan pengukran secara defenitif, diareal wilayah pembukaan hutan (PWH).
C. Sistem Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI)
Diperkenalkan pada tahun 1993 sebagai tingkat lanjut pelaksanaan sistem TPTI dalam berbagai pertimbangan pentingnya sistim TJTI diterapkan dikemukakan beberapa hal antara lain:
1. Berdasarkan hasil evaluasi, perkembangan dan kondisi hutan alam yang ada selain pengawasannya dirasakan sulit, juga ternyata sistem silvikultur TPTI murni belum dapat diterapkan sesaui dengan ketentuan pada beberapa kondisi dan tipe hutan (hutan rawa, hutan gambut dan tegakan khusus) misalnya kondisi tegakan hutan di NTB
2. Keberhasilan pelaksanaan TPTI belum dapat dibuktikan kepada dunia internasional, sementara penilaian terhadap HPH selama ini dianggap cuma mampu melaksanakan penebangan Metode pelaksanaan TJTI diklasifikasikan kedal 2 bagian yakni : tebang jalur diikuti penanaman, dan tebang jalur diikuti dengan permudaan.
Urutan pelaksanaan dalam pola tebang jalur dan penaman dilakukan sebagai berikut:
1. Pembagian bagan petak coba, dengan luas petak coba masing-masing seluas 100 hektar atau 1000 z 1000 m. jarak dan latak antara subpetak disesuaikan kondisi tofografi atau keadaan lapangan yang diatur baik secara tetap maupun secara acak. Setiap subpetak coba dibagi menjadi beberapa jalur dengan kombinsai aturan, ada jalur yang pohonnya ditebang dan sebagian jalur pohonnya tidak ditebang. Artinya letak jalur yang ditebang dengan jalur yang tidak ditebang harus terdapat persilangan. Misalnya lebar jalur yang ditebang 50 m dan tidak ditebang 50 m. sebaliknya terdapat jalur ditebang 50 m namun jalur yang tidak ditebang jaraknya 200 m
2. Inventarisasi sebelum penebangan, agar diketahui potensi tegakan, permudaan alam jenis komersial bernilai tinggi, jumlah jenis pohon yang dilindungi dengan cara : pencegahan lengkap kecuali untuk permudaan digunakan metode LRS (Linier Regeneration Sampling)
3. Penebangan dilakukan pada pohon yang telah diberi tanda silang (x) dan dilakukan pada jalur tebang yang ditetapkan sebelumnya. Pohon tebengan berdiameter minimal 20 cm sampai ukuran diameter pohon yang lebih besar.
4. Penyaradaan kayu, ditetapkan hanya satu tipe untuk setiap subpetak tebangan baik dengan penggunaan hewan, traktor atau skyline
5. ITT. Dilakukan setelah masa 1 tahun berjalan selesainya penebangan , agar siketahui luas lahan terbuka, kerusakan pohon dilindungi, akibat penyaradan, pembuatan jalan dan pembalakan. Pelaksanaan inventarisasi dilakukan secara lengkap
6. Penanaman bibit harus berasal dari persemaian (biji cabutan, stek pucuk) dan berkualitas baik. Pada larikan tanaman searah dengan jalur tebang dengan pembersihan tiap larikan selebar 1 meter. Disamping itu jarak antara sumbu larikan dan lainnya yaitu 5 meter sehingga jarak tanamnya 5 x 5 m. waktu penanaman dilakukan di awal musim hujan terhitung satu tahun setelah dilakukan penebangan
7. Penyulaman tanaman, dilakukan 2-3 bulan setelah penanaman. Dan sebelum penyulaman pertama dimulai, maka tanaman yang mati harus dicacah lebih awal. Pencacahan tanaman mati pada tahun pertama dan tahun kedua dilaksanakan pada musim hujan. Sedangkan pada tahun ketiga penyulaman tanaman mati tidak perlu dilakukan.
8. Pemeliharaan tanaman meliputi kegitan; penyiangan, pendangiran, pembebasan tanaman dari tumbuhan pengganggu (liana), dan pembukaan tajuk. Subpetak uji coba seluas 500 ha terbagi kedalam dua bagian A dan B yang berukuran sama yaitu 500 x 1000 m. jangka waktu untuk pemeliharaan sub petak A , dilakuakn 4 kali dalam setahun atau 8 kali selama 2 tahun, selanjutnya sekali dalam 6 bulan hingga tanaman berumur 5 tahun.
Urutan pelaksanaan dengan sistem tebang jalur dan permudaan diuraikan sebagai berikut
1. Pembuatan petak coba 500 ha dibagi menjadi 5 subpetak masing-masing seluas 100 ha (1000 x 1000 m). letak dan jarak subpetak tergantung keadaan dilapangan sehingga dapat diatur menurut jarak tertentu atau secara acak. Kombinasi jalur setiap petak mempunyai kombinasi persilangan (berselang-seling). Contohnya, lebar jalur yang ditebang 50 m dalam lebar jalur yang ditinggalkan atau tidak ditebang, mencapai 100 m dan sebaliknya.
2. Iinventarisasi tegakan sebelum tebangan, agar diketahui potensi tegakan, jenis dan jumlah pohon yang dilindungi, potensi permudaan jenis komersial, dan penandaan pohon yang ditebang. Inventarisasi tegakan dilakukan dengan penarikan contoh menurut metoda LRS,
3. Penebangan, pohon yang ditebang telah diberi tanda (x) dan dilakukan pada jalur-jalur tebang yang dimulai dari pohon berukuran diameter 20 cm sampai pohon yang berdiameter lebih besar.
4. Penyaradan, dilakukan satu tipe mulai penggunaan traktor, hewan atau skyline.
5. ITT, dilakukan satu tahun setelah penebangan dengan mencegah lengkap kerusakan jenis pohon yang dilindungi dan kerusakan permudaan alam jenis komersial, metoda yang digunakan dalam penarikan sampling menurut sistem LRS.
6. Pemeliharaan permudaan, meliputi cara; penyiangan, pembebasan liana dan pembukaan tajuk, untuk tingkat seedling, pemeliharaannya berupa penyiangan dan pembebasan ari liana. Untuk tingkat sampling dan seterusnya dilakukan pembebasan dari liana, dan pembukaan tajuk secara bertahap, setiap subpetak coba dibagi menjadi dua bagian masing-masing menjadi 250 ha, sebagai tujuan subpetak C dan D dalam ukuran luas yang sama. Pemeliharaan untuk subpetak C dilakuakan 4 kali dalam tahun pertama melalui kegiatan penyiangan dan pembebasan dari liana, diteruskan sampai pada tahun ke dua. Kemudian ditahun ke-3 dan ke-5 sesudah penebangan, dilanjutkan dengan melakukan pembebasan tajuk. Tindakan serupa dilakukan kembali pada tahun ke-8 dan tahun ke-15 umur pohon yang ditanam. Sedangkan pemeiliharaan untuk subpetak D dilakukan 6 bulan sekali pada tahun pertama, kemudian pada tahun ke-3 dan ke-5 dilakukan pembebasan tajuk. Tindakan serupa diulang lagi pada tahun ke-8 dan ke-15 umur tanaman.
D. Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan
1. Seluruh jenis yang ditebang adalah jenis pohon komersial sesuai ketentuan diameter penebangan. Ketentauan tebang habis ini harus mendapat persetujuan tertulis pejabat yang berwenang. Sementara, untuk penebangan diareal kerja HPH baru dilaksanakan setelah Rencanan Kerja Tahunannya dinyatakan telah disetujui instansi kehutanan.
2. Cara-cara penebangan harus mengikuti petunjuk teknis TPI dengan mengindahkan keselamatan kerja terutama di dalam penggunaan alat-alat mekanis (alat berat). Semua alat mekanis sebenarnya dapat diapakai untuk penyaradan sepanjang tidak merusak kondisi tanah hutan, tegakan pohon dan tegakan pohon dan keselamatan jiwa pekerja. Karena itu, jalan sarad tidak boleh dibuat simpang siur, tetapi harus mengikuti jaringan tertentu yang sudah disetujui perencanaannya.
3. Jaringan jalan angkutan harus jelas diatas peta kerja berikut rencana penebangan yang telah disahkan kehutanan. Apabila pengangkutan melewati areal hutan lindung. Harus dicegah atau ditekan sejauh mungkin adanya tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan.
4. Persemaian harus disiapkan sebelum penebangan dimulai. Luas dan jarak tanam adalah 3 x 3 m. dengan muatan bibit 1.100 pohon untuk setiap hektar bibit pohon unggul dari jenis kayu bahan baku industri misalnya agathis, albazia, shorea Tectona grandis, dan yang sesuai. Sedangkan cara-cara penanaman yang digunakan tergantung pada kedaan setempat. Dapat dipilih atau ditentukan cara tumpang sari, tanam jalur atau cemplongan. Selanjutnya pada keadaan tanah yang kritis dilakukan dengan pupuk hijau dengan tanaman tumpangsari. Adapun tanaman campuran dapat dilakukan untuk proses humunifikasi, karena bibit kurang atau untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan.
5. Tanaman pemeliharaan dianggap berhasil apabila setelah diinventarisasi diperoleh 40% tumbuh pada waktu tanaman berumur 3 tahun disetiap sampel plot. Karena itu pemeliharaan dan penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur 2 tahun dan diikuti penjarangan dan penyiangan tumbuhan liar. Dalam penyulaman harus digunakan bibit yang umur serta jenisnya sama dengan bibit asal. Sementara,pada frekuensi tertentu antara 5-10 tahun penjarangan dilakukan atau dua per tiga dari masa daur penebangan dengan persentase rasional antara 20-30% nilai tegakan.
6. Produksi antara yang dihasilkan dari penjarangan dianggap sebagai produksi tegakan sedangkan perlakuan lain seperti pemangkasan dilakukan untuk keperluan tertentu.
7. Bekas-bekas tebangan perlu dijaga dari tindakan perladangan, penyerobatan tanah, bidang-bidang tanaman yang perlu dijaga dari sedangan hama dan penyakit pohon. Untuk itu setiap luas 50 ha harus ada seorang pengawas dan pengamat pohon yang akan melewati jalan pemeriksaan sepanjang 100 meter untuk setiap luas areal 2 ha tanaman. Kemudian, limbah bekas tebangan harus dijaga dan diperkecil tumpukaannya untuk menghindari kebakaran hutan dengan jarak antara tiap tumpukan adalah 20 meter, selain itu pentingnya dibangun menara-menara pengawas terhaap keamanan hutan yaitu 1 unit :1000 ha tanaman.
8. Pengawasan dan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran aturan teknis silvikultur THP ini, antara lain didasarkan penilaian karena ketidak mampun pengelola memenuhi aturan teknis silvikultur THP, jenis-jenis sanksi itu berupa; peringatan, denda penurunan jatah tebangan, kewajiban untuk melakukan ganti rugi dan atau penjabutan HPH kepada setiap jenis tindakan pelanggaran yang terjadi.
II. TUJUAN dan SASARAN
Tujuan TPTJ adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui tebang pilih dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang lestari.
Sasaran TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.
III. PENGERTIAN
1. Pemanenan tebang pilih adalah tebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati setempat.
2. Penanaman dalam jalur adalah kegiatan menanam dalam rangka pemanfaatan ruang tumbuh dengan jenis-jenis tanaman unggulan setempat.
3. Jalur antara adalah jalur tegakan tinggal yang dibina dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas dan mempertahankan keanekaragaman hayati.
IV. TAHAP KEGIATAN TPTJ
No. Tahap Kegiatan
1. Penataan Areal Kerja (PAK)
2. Inventarisasi Hutan
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
4. Pengadaan Bibit
5. Tebang Naungan
6. Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam
7. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur
8. Pembebasan dan Penjarangan
9. Pemanenan
10. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
V. PELAKSANAAN KEGIATAN DAN TATA WAKTU
1. Penataan Areal Kerja (PAK)
1.1. Prinsip
1) Menata areal ke dalam blok dan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK.
2) Dilakukan tidak lebih dari 4 tahun sebelum pemanenan.
3) Dibentuk sebagai satu bagian hutan khusus untuk regime TPTJ.
1.2. Perencanaan
1) Mempedomani RKUPHHK yang telah disahkan.
2) Membagi areal kerja ke dalam blok-blok kerja tahunan dan petakpetak kerja.
3) Sesuaikan jumlah blok dan petak kerja dengan siklus tebang yang ditetapkan.
4) Sesuaikan bentuk dan luas blok dan petak kerja dengan kondisi lapangan.
5) Gunakan angka romawi untuk menandai setiap blok kerja sesuai rencana tahun penebangan, sedangkan petak kerja diberi angka secara berurutan dari petak pertama sampai petak terakhir.
6) Buat rencana tata batas blok dan petak kerja.
7) Buat peta rencana PAK dengan skala minimal 1 : 10.000.
1.3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Penataan Areal Kerja (PAK) berdasarkan prinsip pada angka 1.1. di atas.
2. Inventarisasi Hutan
2.1. Prinsip
1) Inventarisasi hutan pada blok RKT dengan intensitas 100 % untuk pohon niagawi dengan diameter > 40 cm; dan pohon yang dilindungi sesuai ketentuan yang berlaku.
2) Dilakukan sebelum penyusunan Usulan RKTUPHHK.
2.2. Perencanaan
1) Buat rencana jalur-jalur inventarisasi pada setiap petak kerja yang ada di dalam blok RKT berdasarkan peta hasil PAK.
2) Buat semua jalur ukur dalam petak searah (misal Utara - Selatan).
3) Siapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil Inventarisasi Hutan.
4) Buat peta rencana Inventarisasi Hutan skala 1 : 5.000.
2.3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Inventarisasi Hutan berdasarkan prinsip pada angka 2.1. di atas, dan sekaligus membuat peta kontur dan peta sebaran pohon skala 1 : 1.000.
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
3.1. Prinsip
Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
3.2. Perencanaan
1) Buat rencana PWH berdasarkan peta blok RKT.
2) Buat rencana trace jalan angkutan dan jalan sarad berdasarkan peta kontur hasil Inventarisasi Hutan.
3) Buat rencana lokasi base camp, TPK, TPn, pondok kerja, dan lainlain.
3.3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) berdasarkan prinsip pada angka 3.1. di atas.
4. Pengadaan Bibit
4.1. Prinsip
Menggunakan bibit jenis lokal unggulan setempat, dapat berasal dari biji, atau cabutan, atau stek, atau kultur jaringan.
4.2. Perencanaan
1) Buat rencana persemaian: lokasi, sumber bibit (pohon plus), bangunan, SDM, peralatan.
2) Buat rencana kebutuhan bibit.
4.3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pengadaan Bibit berdasarkan prinsip pada angka 4.1. di atas.
5. Tebang Naungan
5.1. Prinsip
1) Pembebasan dari naungan pohon dominan.
2) Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
3) Penebangan pohon diameter > 40 cm dan masuk ke dalam target RKT.
5.2. Perencanaan
1) Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran pohon skala 1 : 1.000.
2) Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT yang telah disahkan.
5.3. Pelaksanaan
1) Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Tebang Naungan berdasarkan prinsip pada angka 5.1. di atas.
2) Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku.
6. Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam
6.1. Prinsip
1) Membuat ruang tumbuh.
2) Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
3) Penebangan dapat dilakukan pada semua pohon dalam jalur dan masuk ke dalam target RKT.
6.2. Perencanaan
1) Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran pohon skala 1 : 1.000.
2) Membuat jalur tanam dengan jarak antar sumbu jalur + 20 meter dan jarak tanam dalam jalur + 5 meter.
3) Membuat jalur tanam selebar + 3 meter.
4) Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT yang telah disahkan.
6.3. Pelaksanaan
1) Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam berdasarkan prinsip pada angka 6.1. di atas.
2) Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku.
7. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur
7.1. Prinsip
1) Meningkatkan produktivitas pada blok RKT.
2) Menggunakan bibit jenis lokal unggulan setempat.
7.2. Perencanaan
1) Buat dan kelola tanaman dengan mengutamakan bibit jenis unggulan lokal.
2) Buat peta rencana penanaman dalam jalur.
7.3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur berdasarkan prinsip pada angka 7.1. di atas.
8. Pembebasan dan Penjarangan
8.1. Prinsip
1) Meningkatkan riap pohon binaan.
2) Pohon binaan bisa berasal dari permudaan alam dan tanaman jalur.
8.2. Perencanaan
1) Menetapkan pohon terbaik dari permudaan alam di jalur antara dan dari tanaman di jalur tanam sebagai pohon binaan di petak kerja.
2) Membebaskan pohon binaan dari tanaman penyaing.
3) Membuat peta pohon binaan hasil pembebasan.
8.3. Pelaksanaan
1) Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Pembebasan dan Penjarangan berdasarkan prinsip angka 8.1. di atas.
2) Pembebasan pohon dapat menggunakan antara lain arborisida yang ramah lingkungan khusus pohon besar.
9. Pemanenan
9.1. Prinsip
1) Pemanenan dengan tebang habis pada jalur tanam dan tebang pilih pada jalur antara untuk pohon diameter > 40 cm.
2) Memanen tidak boleh melebihi riap.
3) Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
9.2. Perencanaan
1) Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran pohon binaan skala 1 : 1.000.
2) Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT
9.3. Pelaksanaan
1) Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Pemanenan berdasarkan prinsip pada angka 9.1. di atas.
2) Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku.
10. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
10.1. Prinsip
1) Pengendalian hama dan penyakit, perlindungan hutan dari kebakaran hutan, perambahan hutan, dan pencurian hasil hutan.
2) Memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi.
10.2. Perencanaan
Menyusun rencana perlindungan dan pengamanan hutan secara periodik dalam 1 periode RKT.
10.3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Perlindungan dan Pengamanan Hutan berdasarkan prinsip pada angka 10.1. di atas.
VI. PEMANTAUAN DAN PENILAIAN
1. Prinsip
1.1. Sebagai umpan balik untuk peningkatan riap.
1.2. Dilakukan oleh tenaga yang berkompetensi Wasganis PHPL.
1.3. Dilakukan 1 kali dalam 1 periode RKT.
2. Perencanaan
Buat rencana pemantauan dan penilaian.
3. Pelaksanaan
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pemantauan dan Penilaian berdasarkan prinsip pada angka 1 di atas

Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia

SILVIKULTUR HUTAN TANAMAN



JOHN ANDERSON SINAGA



ILMU KEHUTANAN
2014
  
1. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia
Tidak ada catatan resmi mengenai awal kegiatan eksploitasi hutan di Nusantara
sebelum jaman penjajahan Belanda. Pada jaman kerajaan di Jawa, awal abad ke
delapan hingga abad ke-16, telah dilakukan eksploitasi hutan untuk pembangunan
kerajaan dan sarana ibadah. Jaman penjajahan Belanda diawali dengan kedatangan
VOC pada tahun 1650. Pada masa inilah, eksploitasi hutan di Nusantara mulai
tercatat (Ngadiono, 2004). Sejarah kehutanan mencatat pengusahaan kehutanan di
Sumatera telah dimulai sejak tahun 1870. Pengusahaan rawa gambut dilakukan
dengan sistem panglong, yaitu menebang pohon meranti, punak dan kelat untuk kayu
pertukangan. Eksploitasi hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada
umumnya dilakukan dengan sistem limit diameter 50-60 cm tanpa perlakuan silvikultur
(Anonim, 1986).
Pada zaman setelah kemerdekaan, pengusahaan hutan alam di luar Jawa dilakukan
dengan sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam (Soedarmo et al., 1956; PPHI,
1958). Untuk menjaga kelestarian hutan alam produksi di luar Jawa dilakukan
penebangan secara selektif dengan rotasi 60 tahun (Direktorat Pengusahaan Hutan,
1968).
Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan
sistem tebang pilih atau tebang habis. Tetapi untuk menjamin kelestarian hutan, maka
pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan secara tebang pilih, dan
permudaan dilakukan secara alam dan buatan (Peraturan Pemerintah No. 21 tahun
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan).
Menurut Soerianegara (1971) karena hutan hujan tropika pada umumnya
berkomposisi campuran serta banyaknya jenis-jenis pohon yang komersial terbatas,
maka cara tebang pilih akan lebih umum dipakai. Untuk menjamin kelestarian
produksi hutan harus ditentukan cara dan waktu penebangan dan permudaan hutan
diatur dalam suatu sistem yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan keadaan hutan,
baik komposisi, struktur maupun keadaan ekologisnya. Pemilihan dan penggunaan
sistem silvikultur ditentukan oleh syarat-syarat penggunaan sistem masing-masing,
Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia
9
komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan
nilai ekonomis hutan, cara penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan.
Mengingat keadaan hutan-hutan di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat
lain, pemilihan sistem silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut
kondisi hutan setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan
dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Lebih lanjut Soerianegara (1971) menjelaskan bahwa karena di Indonesia waktu itu
sedikit sekali pengalaman yang telah didokumentasikan dalam hal permudaan hutan
alam hutan hujan tropika, maka hasil-hasil penelitian dan pengamalan di negaranegara
tropika lain dipakai sebagai pertimbangan pemilihan sistem silvikultur di
Indonesia seperti Modified selection system dan Malayan clear-felling over natural
regeneration, sedangkan enrichment planting terutama digunakan dalam rangka
restocking tegakan hutan sekunder.
Pada tahun 1972 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
No 35/Kpts/DD/1/1972 lahirlah Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedomanpedoman
Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia (TPI) merupakan perpaduan
sistem-sistem silvikultur berdasarkan (i) tebang pilih dengan batas minimum diameter
tertentu (50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun), (ii) penyempurnaan hutan dengan
tanaman sulaman (enrichment), dan (iii) pembinaan permudaan dengan pembebasan
dari tumbuhan pengganggu (refining). Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan
mempertimbangkan (a) azas kelestarian hutan (b) teknik silvikultur yang sesuai
dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta (c) sifat tumbuh jenis pohon
tertentu.
Sistem silvikultur TPI terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 21/1970.
Menurut Soerianegara (1992), limit (batas) diameter yang digunakan ialah lazim
digunakan dalam eksploitasi hutan luar jawa. Rotasi (siklus) tebang ditentukan
berdasarkan perkiraan bahwa riap diameter pohon pada tegakan bekas tebangan
ialah 1 cm per tahun. Angka ini didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan
bekas tebangan di Sumatera Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona,
yang menyebutkan riap diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar
didasarkan pada perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm
minimal 5 m3, sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal
25 x 25 m3/ha atau 125 m3/ha.
Menurut Soerianegara (1992) tim penyusun TPI waktu itu telah menyadari
ketidaksempurnaan dari naskah-naskah yang telah disusun itu, dan mengharapkan
Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia
10
agar penerapan dari paraturan-peraturan eksploitasi itu diikuti dengan penelitian
berikutnya yang hasilnya dapat memperbaiki peraturan yang ada.
Dengan makin banyaknya penelitian tentang TPI, maka Lokakarya Tebang Pilih
Indonesia di Yogyakarta, 23-24 Juni 1980, telah mengeluarkan saran-saran untuk
penyempurnaan TPI (Sastrosumarto, et al., 1980 dalam Soerianegara, 1992). Yang
terpenting dalam penyempurnaan tersebut adalah batas diameter terendah pohon
dapat diturunkan sampai 20 cm, karena ternyata riap pohon berdiameter 10 cm
keatas ialah lebih dari 1 cm per tahun.
Revisi pertama buku Pedoman Tebang Pilih Indonesia (Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi, 1980) menyangkut batas diameter tebangan, jumlah pohon inti yang
harus ditinggalkan, siklus tebangan dan jatah tahunan pada sistem silvikultur TPI.
Dalam revisi pertama telah dilakukan penurunan batas diameter terendah dari pohon
inti untuk hutan alam campuran. Perubahan tersebut membedakan tipe hutan menjadi
hutan alam campuran, hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Khusus
untuk hutan ramin campuran, batas diameter tebang adalah 35 cm, jumlah minimal
pohon inti 15 (khusus untuk jenis pohon ramin, sisanya 10 batang/ha dari jenis pohon
perdagangan lainnya), diameter minimal pohon inti 20 cm, sikus tebang pohon inti
35 tahun dan jatah tebangan tahunan 1/35 x 80% massa tegakan.
Penyempurnaan sistem TPI selanjutnya dilakukan dengan pembentukan Tim/Panitia
oleh Departemen Kehutanan yang hasilnya berupa Keputusan Menteri Kehutanan
No. 485/Kpts-II/1989 mengenai Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi
di Indonesia, dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/KPTS/IVBPHH/
1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) beserta
Lampirannya.
Pada tanggal 9 Pebruari 2009 keluar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi (IUPHHK - HP). Terdapat perubahan yang
mendasar pada Sistem Silvikultur yang akan diterapkan. Sistem silvikultur yang dipilih
dan diterapkan berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan hutan. Sistem
Silvikultur berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan
seumur dan tidak seumur. Sedangkan berdasarkan pemanenan hutan terdiri dari
sistem tebang pilih dan sistem tebang habis. Sistem silvikultur tegakan seumur
dilakukan melalui tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dan atau tebang
habis dengan permudaan alam (THPA). Sistem silvikultur tegakan tidak seumur
dilakukan melalui tebang pilih individu (TPTI), tebang kelompok (Tebang Rumpang)
dan sistem jalur (TPTJ).

Thursday, 9 October 2014

KELAS AWET KAYU



PENGOLAHAN HASIL HUTAN
KELAS AWET KAYU



OLEH :
JOHN ANDERSON SINAGA


ILMU KEHUTANAN
2014


1. Kelas awet I
Lama pemakaian kelas awet I dapat mencapai 25 tahun. Jenis-jenis kayu yang termasuk dalam kelas ini adalah jati, ulin, sawo kecik, merbau, tanjung, sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil.

2. Kelas awet II
Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet II yaitu waru, kapur, bungur, cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan sonokembang. Umur pemakaian dari kelas ini yaitu antara 15-25 tahun.

3. Kelas awet III
Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet III yaitu ampupu, bakau, kempas, kruing, mahoni, matoa, merbau, meranti merah, meranti putih, pinang, dan pulai. Umur pakai jenis kayu kelas ini mencapai 10-15 tahun.

4. Kelas awet IV
Jenis kayu ini termasuk kurang awet, umur pakainya antara 5 – 10 tahun. Kayu yang termasuk kelas awet ini yaitu agates, bayur, durian, sengon, kemenyan, kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang laki.

5. Kelas awet V
Kayu–kayu yang termasuk kelas awet V tergolong kayu yang tidak awet karena umur pakainya hanya kurang dari 5 tahun. Contoh kayu yang masuk dalam kelas ini adalah jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan marabung (Duljapar, 1996).