SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA
JOHN ANDERSON SINAGA
ILMU KEHUTANAN
2014
2014
A. Sistem Tebang Pilih
Indonesia (TPI)
1.
Digunakan rotasi tebang 35 tahun untuk pohon-pohon dari jenis-jenis kayu
berharga, memiliki diameter diatas 50 cm yang diukur tepat 130 cm dari tanah
(setinggi dada). Pohon dibawah diameter 50 cm dilarang ditebang selain karena
merugikan pertumbuhan juga menimbulkan kerugian produktivitas hutan. Kecuali,
disuatu bagian hutan yang keadaan tempat tumbuhnya tidak ditemukan persediaan
kayu-kayu berdiamter 50 cm ke atas. Ukuran standar diameter dapat diturunkan
menjadi 30 cm, tetapi rotasi berikutnya bertambah dari 35 tahun menjadi 55
tahun. Perubahan itu juga pada volume pohon inti untuk tegakan dari 25 cm
menjadi 40 batang per hektar.
2.
Ditunjuk pohon-pohon inti yang akan dibentuk tegakan utama pada rotasi tebangan
berikutnya. Penunjukan yang diberi tanda (cat kuning) ditetapkan 25 batang
pohon setiap hektar yang rata-rata berdiameter 35 ketas. Khusus, untuk
pohon-pohon jenis penunjukan ini berlaku.
3.
Pohon-pohon yang akan ditebang diberi tanda secara jelas meliputi nomor pohon
dan arah rebahnya pohon. Kegunaannya untuk menyelamatkan pohon-pohon muda dari
penebangan yang kurang hati-hati. Sehingga, menimbulkan kerusakan tegakan.
Tanda nomor poho diletakkan setinggi 20 cm dari bawah, sedangkan arah tebang
ditulis melintang sepanjang 20 cm dengan 3 cm di batang pohon yang akan
ditebang.
4.
Persemaian sudah harus disiapkan sebelum penebangan dimulai. Pengadaan bibit
untuk disemaikan dapat berupa biji yang telah diseleksi maupun benih permudaan
yang dikumpulkan dari hutan sendiri, luas persemaian harus disesuaikan dengan
perimbangan luas kesatuan oprasional penebangan.
5.
Untuk mengatasi kerusakan hutan akibat penebangan, maka ditentukan adanya
tempat pengumpulan kayu sesuai luas areal tebangan dengan ukuran minimal
jari-jari 30 m dan maksimal 40 m
6.
Penyaradan kayu hasil penebangan harus dihindari timbulnya kerusakan
pohon-pohon muda terutama pohon inti. Sedangkan, apabila digunakan traktor
dalam penyaradan itu, harus disiapkan jalan angkutan kayu (jalan sarad),
penyediaan jalan sarad ini juga memudahkan untuk ditentukan arah tebang atau
jatuhnya pohon yang serah dengan jalan traktor yang akan dilalui penyaradan.
Dalam kondisi hujan lokal, penyaradan tidak boleh dilakukan berulang kali
mengingat kondisi tanah dan tingkat kemampuan jalan sarad.
7.
Pengangkutan kayu dengan sistem penggunaan kabel spartree harus digunakan parit
dan jurang sebagai jalan kabel utama. Jarak penyaradan untuk sistem ini hanya
diizinkan antara 250-300 m. Sededangkan, jalankan kabel jumlahnya tidak boleh
lebih dari 12 jalur. Untuk kelancaran pekerjaan, bila perlu digunakan
pohon-pohon penahan selain pohon inti. Sebaliknya, jika ada pohon tebangan yang
terhalang rebah ketanah, tidak boleh digunakan alat berat yang lebih besar
untuk merebahkan pohon yang tersangkut itu.
8.
Setelah dilakukan penebangan, setip petak harus di inventarisasi khususnya
untuk mendata pohon-pohon inti dan pohon jenis komersil lainnya, yang
berdiameter kurang dari standar penebangan. Untuk pohon inti harus
diinventarisasi secara keseluruhan, sedangkan untuk jenis lain dapat dilakukan
dengan cara sampling.
9.
Pembebasan tumbuhan pengganggu, harus dilaksanakan untuk melindungi dan
membantu pertumbuhan pohon-pohon muda. Untuk itu dilakukan dengan cara menata
akar yang saling bersaing, ruang tumbuh dan pencahanyaan sinar matahari. Jenis
tumbuhan pengganggu perlu dipotong ditebas atau diracun. Namaun, tumbuhan yang
berfungsi sebagai pentup lapisan tanah dan pelindung pohon jenis komersil harus
tetap tumbuh untuk menambah persediaan kayu bakar.
10.
Bekas areal penebangan harus dibersihkan untuk selanjutnya dilakukan penyulaman
yang bibitnya diambil dari persemaian. Terutama, dilakukan penyulaman pada
tanah terbuka, bekas jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu. Disamping itu,
penyulaman diharuskan pula pada areal hutan yang memiliki daya semai dan daya
pancang untuk jenis pohon komersil
11.
Melakukan pencegahan erosi akibat pembuatan parit jalan kabel dan bekas jalan
traktor melalui pembuatan tunggal yang bergaris horizontal (melintang)
12.
Setiap petak atau blok tebangan yang telah selesai pohonnya ditebang, tidak
diizinkan lagi untuk melakukan penebangan ulang.
13.
Untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan perladangan liar, penggembalaan
ternak dihutan dan menghindari terjadinya kebakaran hutan, maka setiap kesatuan
pemangkuan hutan atau areal HPH wajib mempekerjakan tenaga pengawas. Ditentukan
bahwa untuk setiap pengawas atau penjaga hutan maksimal 5000 ha dengan
kelipatan keatas. Artinya jika luasnya 10 ribu ha berarti harus ada minimal 2
orang tenaga penjaga hutan dan seterusnya.
14.
Setelah berjalan 5 tahun selesainya penebangan, dilokasi bekas yang
ditinggalkan harus dilakukan penyulaman ulang, pembebasan tanaman pengganggu,
bahkan bila dianggap perlu dapat dilakukan penjarangan pohon.
B. Sistem Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI-1989)
Pedoman
silvikultur berlaku sebagai aturan teknis yang dilaksanakan sejak tahun 1972,
tetap masih dilanjutkan kemudian muncul sistem silvikultur baru dan hampir
serupa yaitu didalam Kepmen Kehutanan RI Nomor 564 tahun 1989 tentang pedoman
Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Kecuali
untuk hutan payau, maka sistem TPTI dinilai tepat diguanakan untuk hutan alam
produksi di indonesia. Tujuan TPTI meliptuti; pengaturan pemanfaatan hutan
produksi, peningkatan nilai kualitas dan kauntitas hutan bekas tebangan untuk
rotasi berikutnya, dan untuk membentuk hutan tegakan campuran yang dapat
menghasilkan kayu penghara industri secara berkelanjutan.
Sasaran
TPTI diarahkan pada: pengaturan komposisi jenis pohon dihutan yang lebih
menguntungkan baik dari segi ekonomis, pengaturan struktur kerapatan tegakan
optimal pohon guna peningkatan potensi produksi kayu bulat, terjamin fungsi
hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air, serta terjamin fungsi perlindungan
hutan
Ketentuan
penataan areal kerja diatur untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan pengawasan kegiatan pengusahaan hutan pada blok kerja. Pemasangan tapal
batas blok dan petak kerja hasil pengukuran digambar diatas peta. Sedangkan
penataan areal kerja pada blok kerja tahuan dilaksanakan setiap 3 tahun sebelum
dilakukan penebangan. Blok kerja dibagi menjadi petak kerja dan tiap-tiap petak
luasnya sekitar 100 hektar.
Inventarisasi
tegakan sebelum penebangan, bertujuan agar diketahui jumlah pohon inti, pohon
yang dilindungi, dan potensi pohon yang akan ditebang. Pelaksanaannya dapat
ditentukan calon pohon yang akan dipelihara samapai saat penebangan berikutnya.
Dapat pula ditentukan jatah produksi tebangan tahunan pada blok kerja
masing-masing pengusahaan intensitas 100% dilakukan dalam kegiatan
inventarisasi ini. Pelaksanaan dilakukan dua tahun sebelum penebangan dilakukan
(ET-2) dan hasilnya ditetapkan dalam skala 1: 2.000.
Untuk
kepastian penebangan, setiap pohon harus diberi tanda silang bercat merah pada
tinggi pohon 1,30 m dari tanah yang dicatat pada buku laporan. Sedangkan untuk
pohon inti dan pohon yang dilindungi diberi tanda bercat kuning melingkari
pohon pada ketinggian 1,30 m. setiap jenis dan diameter batang pohon inti dan
pohon dilindungi, harus dicatat dalam buku laporan, sedikitnya ada 25 pohon per
ha yang berdiameter 20 cm keatas dengan penyebaran yang merata. Sedangkan,
untuk pohon yang akan ditebang inventarisasinya meliputi: nama jenis, diameter
batang, tinggi batang yang bebas, dan tinggi banir.
Kegiatan
PWH merupakan kegiatan untuk penyediaan sarana bagi produksi kayu dan
kepentingan pembinaan hutan. Kegiatan antara lain, meliputi; pengukuran
pemetaan, pembuatan dan pemeliharaan jalan angkutan dan jembatan. Urutan
kegiatan diatur melalui jalur mencari dan menetapkan titik ikat, menyusun
rencana blok kerja tahunan dan blok kerja lima tahuan, melakukan pengukran
secara defenitif, diareal wilayah pembukaan hutan (PWH).
C. Sistem Tebang Jalur
Tanam Indonesia (TJTI)
Diperkenalkan
pada tahun 1993 sebagai tingkat lanjut pelaksanaan sistem TPTI dalam berbagai
pertimbangan pentingnya sistim TJTI diterapkan dikemukakan beberapa hal antara
lain:
1.
Berdasarkan hasil evaluasi, perkembangan dan kondisi hutan alam yang ada selain
pengawasannya dirasakan sulit, juga ternyata sistem silvikultur TPTI murni
belum dapat diterapkan sesaui dengan ketentuan pada beberapa kondisi dan tipe
hutan (hutan rawa, hutan gambut dan tegakan khusus) misalnya kondisi tegakan
hutan di NTB
2.
Keberhasilan pelaksanaan TPTI belum dapat dibuktikan kepada dunia
internasional, sementara penilaian terhadap HPH selama ini dianggap cuma mampu
melaksanakan penebangan Metode pelaksanaan TJTI diklasifikasikan kedal 2 bagian
yakni : tebang jalur diikuti penanaman, dan tebang jalur diikuti dengan
permudaan.
Urutan
pelaksanaan dalam pola tebang jalur dan penaman dilakukan sebagai berikut:
1.
Pembagian bagan petak coba, dengan luas petak coba masing-masing seluas 100
hektar atau 1000 z 1000 m. jarak dan latak antara subpetak disesuaikan kondisi
tofografi atau keadaan lapangan yang diatur baik secara tetap maupun secara
acak. Setiap subpetak coba dibagi menjadi beberapa jalur dengan kombinsai
aturan, ada jalur yang pohonnya ditebang dan sebagian jalur pohonnya tidak
ditebang. Artinya letak jalur yang ditebang dengan jalur yang tidak ditebang
harus terdapat persilangan. Misalnya lebar jalur yang ditebang 50 m dan tidak
ditebang 50 m. sebaliknya terdapat jalur ditebang 50 m namun jalur yang tidak
ditebang jaraknya 200 m
2.
Inventarisasi sebelum penebangan, agar diketahui potensi tegakan, permudaan
alam jenis komersial bernilai tinggi, jumlah jenis pohon yang dilindungi dengan
cara : pencegahan lengkap kecuali untuk permudaan digunakan metode LRS (Linier
Regeneration Sampling)
3.
Penebangan dilakukan pada pohon yang telah diberi tanda silang (x) dan
dilakukan pada jalur tebang yang ditetapkan sebelumnya. Pohon tebengan
berdiameter minimal 20 cm sampai ukuran diameter pohon yang lebih besar.
4.
Penyaradaan kayu, ditetapkan hanya satu tipe untuk setiap subpetak tebangan
baik dengan penggunaan hewan, traktor atau skyline
5.
ITT. Dilakukan setelah masa 1 tahun berjalan selesainya penebangan , agar
siketahui luas lahan terbuka, kerusakan pohon dilindungi, akibat penyaradan,
pembuatan jalan dan pembalakan. Pelaksanaan inventarisasi dilakukan secara
lengkap
6.
Penanaman bibit harus berasal dari persemaian (biji cabutan, stek pucuk) dan
berkualitas baik. Pada larikan tanaman searah dengan jalur tebang dengan
pembersihan tiap larikan selebar 1 meter. Disamping itu jarak antara sumbu
larikan dan lainnya yaitu 5 meter sehingga jarak tanamnya 5 x 5 m. waktu penanaman
dilakukan di awal musim hujan terhitung satu tahun setelah dilakukan penebangan
7.
Penyulaman tanaman, dilakukan 2-3 bulan setelah penanaman. Dan sebelum
penyulaman pertama dimulai, maka tanaman yang mati harus dicacah lebih awal.
Pencacahan tanaman mati pada tahun pertama dan tahun kedua dilaksanakan pada
musim hujan. Sedangkan pada tahun ketiga penyulaman tanaman mati tidak perlu
dilakukan.
8.
Pemeliharaan tanaman meliputi kegitan; penyiangan, pendangiran, pembebasan
tanaman dari tumbuhan pengganggu (liana), dan pembukaan tajuk. Subpetak uji
coba seluas 500 ha terbagi kedalam dua bagian A dan B yang berukuran sama yaitu
500 x 1000 m. jangka waktu untuk pemeliharaan sub petak A , dilakuakn 4 kali
dalam setahun atau 8 kali selama 2 tahun, selanjutnya sekali dalam 6 bulan
hingga tanaman berumur 5 tahun.
Urutan
pelaksanaan dengan sistem tebang jalur dan permudaan diuraikan sebagai berikut
1.
Pembuatan petak coba 500 ha dibagi menjadi 5 subpetak masing-masing seluas 100
ha (1000 x 1000 m). letak dan jarak subpetak tergantung keadaan dilapangan
sehingga dapat diatur menurut jarak tertentu atau secara acak. Kombinasi jalur
setiap petak mempunyai kombinasi persilangan (berselang-seling). Contohnya,
lebar jalur yang ditebang 50 m dalam lebar jalur yang ditinggalkan atau tidak
ditebang, mencapai 100 m dan sebaliknya.
2.
Iinventarisasi tegakan sebelum tebangan, agar diketahui potensi tegakan, jenis
dan jumlah pohon yang dilindungi, potensi permudaan jenis komersial, dan
penandaan pohon yang ditebang. Inventarisasi tegakan dilakukan dengan penarikan
contoh menurut metoda LRS,
3.
Penebangan, pohon yang ditebang telah diberi tanda (x) dan dilakukan pada
jalur-jalur tebang yang dimulai dari pohon berukuran diameter 20 cm sampai
pohon yang berdiameter lebih besar.
4.
Penyaradan, dilakukan satu tipe mulai penggunaan traktor, hewan atau skyline.
5.
ITT, dilakukan satu tahun setelah penebangan dengan mencegah lengkap kerusakan
jenis pohon yang dilindungi dan kerusakan permudaan alam jenis komersial,
metoda yang digunakan dalam penarikan sampling menurut sistem LRS.
6.
Pemeliharaan permudaan, meliputi cara; penyiangan, pembebasan liana dan
pembukaan tajuk, untuk tingkat seedling, pemeliharaannya berupa penyiangan dan
pembebasan ari liana. Untuk tingkat sampling dan seterusnya dilakukan
pembebasan dari liana, dan pembukaan tajuk secara bertahap, setiap subpetak
coba dibagi menjadi dua bagian masing-masing menjadi 250 ha, sebagai tujuan
subpetak C dan D dalam ukuran luas yang sama. Pemeliharaan untuk subpetak C
dilakuakan 4 kali dalam tahun pertama melalui kegiatan penyiangan dan
pembebasan dari liana, diteruskan sampai pada tahun ke dua. Kemudian ditahun
ke-3 dan ke-5 sesudah penebangan, dilanjutkan dengan melakukan pembebasan
tajuk. Tindakan serupa dilakukan kembali pada tahun ke-8 dan tahun ke-15 umur
pohon yang ditanam. Sedangkan pemeiliharaan untuk subpetak D dilakukan 6 bulan
sekali pada tahun pertama, kemudian pada tahun ke-3 dan ke-5 dilakukan
pembebasan tajuk. Tindakan serupa diulang lagi pada tahun ke-8 dan ke-15 umur tanaman.
D. Sistem Tebang Habis
Permudaan Buatan
1.
Seluruh jenis yang ditebang adalah jenis pohon komersial sesuai ketentuan
diameter penebangan. Ketentauan tebang habis ini harus mendapat persetujuan
tertulis pejabat yang berwenang. Sementara, untuk penebangan diareal kerja HPH
baru dilaksanakan setelah Rencanan Kerja Tahunannya dinyatakan telah disetujui
instansi kehutanan.
2.
Cara-cara penebangan harus mengikuti petunjuk teknis TPI dengan mengindahkan
keselamatan kerja terutama di dalam penggunaan alat-alat mekanis (alat berat).
Semua alat mekanis sebenarnya dapat diapakai untuk penyaradan sepanjang tidak
merusak kondisi tanah hutan, tegakan pohon dan tegakan pohon dan keselamatan
jiwa pekerja. Karena itu, jalan sarad tidak boleh dibuat simpang siur, tetapi
harus mengikuti jaringan tertentu yang sudah disetujui perencanaannya.
3.
Jaringan jalan angkutan harus jelas diatas peta kerja berikut rencana
penebangan yang telah disahkan kehutanan. Apabila pengangkutan melewati areal
hutan lindung. Harus dicegah atau ditekan sejauh mungkin adanya tingkat
kerusakan hutan yang ditimbulkan.
4.
Persemaian harus disiapkan sebelum penebangan dimulai. Luas dan jarak tanam
adalah 3 x 3 m. dengan muatan bibit 1.100 pohon untuk setiap hektar bibit pohon
unggul dari jenis kayu bahan baku industri misalnya agathis, albazia, shorea
Tectona grandis, dan yang sesuai. Sedangkan cara-cara penanaman yang digunakan
tergantung pada kedaan setempat. Dapat dipilih atau ditentukan cara tumpang
sari, tanam jalur atau cemplongan. Selanjutnya pada keadaan tanah yang kritis
dilakukan dengan pupuk hijau dengan tanaman tumpangsari. Adapun tanaman
campuran dapat dilakukan untuk proses humunifikasi, karena bibit kurang atau
untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan.
5.
Tanaman pemeliharaan dianggap berhasil apabila setelah diinventarisasi
diperoleh 40% tumbuh pada waktu tanaman berumur 3 tahun disetiap sampel plot.
Karena itu pemeliharaan dan penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur 2 tahun
dan diikuti penjarangan dan penyiangan tumbuhan liar. Dalam penyulaman harus
digunakan bibit yang umur serta jenisnya sama dengan bibit asal. Sementara,pada
frekuensi tertentu antara 5-10 tahun penjarangan dilakukan atau dua per tiga
dari masa daur penebangan dengan persentase rasional antara 20-30% nilai tegakan.
6.
Produksi antara yang dihasilkan dari penjarangan dianggap sebagai produksi
tegakan sedangkan perlakuan lain seperti pemangkasan dilakukan untuk keperluan
tertentu.
7.
Bekas-bekas tebangan perlu dijaga dari tindakan perladangan, penyerobatan
tanah, bidang-bidang tanaman yang perlu dijaga dari sedangan hama dan penyakit
pohon. Untuk itu setiap luas 50 ha harus ada seorang pengawas dan pengamat
pohon yang akan melewati jalan pemeriksaan sepanjang 100 meter untuk setiap
luas areal 2 ha tanaman. Kemudian, limbah bekas tebangan harus dijaga dan
diperkecil tumpukaannya untuk menghindari kebakaran hutan dengan jarak antara
tiap tumpukan adalah 20 meter, selain itu pentingnya dibangun menara-menara
pengawas terhaap keamanan hutan yaitu 1 unit :1000 ha tanaman.
8.
Pengawasan dan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran aturan teknis
silvikultur THP ini, antara lain didasarkan penilaian karena ketidak mampun
pengelola memenuhi aturan teknis silvikultur THP, jenis-jenis sanksi itu
berupa; peringatan, denda penurunan jatah tebangan, kewajiban untuk melakukan
ganti rugi dan atau penjabutan HPH kepada setiap jenis tindakan pelanggaran
yang terjadi.
II.
TUJUAN dan SASARAN
Tujuan
TPTJ adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui
tebang pilih dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap
dalam rangka memperoleh panenan yang lestari.
Sasaran
TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.
III.
PENGERTIAN
1.
Pemanenan tebang pilih adalah tebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada
jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati setempat.
2.
Penanaman dalam jalur adalah kegiatan menanam dalam rangka pemanfaatan ruang
tumbuh dengan jenis-jenis tanaman unggulan setempat.
3.
Jalur antara adalah jalur tegakan tinggal yang dibina dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas dan mempertahankan keanekaragaman hayati.
IV.
TAHAP KEGIATAN TPTJ
No.
Tahap Kegiatan
1.
Penataan Areal Kerja (PAK)
2.
Inventarisasi Hutan
3.
Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
4.
Pengadaan Bibit
5.
Tebang Naungan
6.
Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam
7.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur
8.
Pembebasan dan Penjarangan
9.
Pemanenan
10.
Perlindungan dan Pengamanan Hutan
V.
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN TATA WAKTU
1.
Penataan Areal Kerja (PAK)
1.1.
Prinsip
1)
Menata areal ke dalam blok dan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK.
2)
Dilakukan tidak lebih dari 4 tahun sebelum pemanenan.
3)
Dibentuk sebagai satu bagian hutan khusus untuk regime TPTJ.
1.2.
Perencanaan
1)
Mempedomani RKUPHHK yang telah disahkan.
2)
Membagi areal kerja ke dalam blok-blok kerja tahunan dan petakpetak kerja.
3)
Sesuaikan jumlah blok dan petak kerja dengan siklus tebang yang ditetapkan.
4)
Sesuaikan bentuk dan luas blok dan petak kerja dengan kondisi lapangan.
5)
Gunakan angka romawi untuk menandai setiap blok kerja sesuai rencana tahun
penebangan, sedangkan petak kerja diberi angka secara berurutan dari petak
pertama sampai petak terakhir.
6)
Buat rencana tata batas blok dan petak kerja.
7)
Buat peta rencana PAK dengan skala minimal 1 : 10.000.
1.3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Penataan Areal Kerja (PAK)
berdasarkan prinsip pada angka 1.1. di atas.
2.
Inventarisasi Hutan
2.1.
Prinsip
1)
Inventarisasi hutan pada blok RKT dengan intensitas 100 % untuk pohon niagawi
dengan diameter > 40 cm; dan pohon yang dilindungi sesuai ketentuan yang
berlaku.
2)
Dilakukan sebelum penyusunan Usulan RKTUPHHK.
2.2.
Perencanaan
1)
Buat rencana jalur-jalur inventarisasi pada setiap petak kerja yang ada di
dalam blok RKT berdasarkan peta hasil PAK.
2)
Buat semua jalur ukur dalam petak searah (misal Utara - Selatan).
3)
Siapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil Inventarisasi Hutan.
4)
Buat peta rencana Inventarisasi Hutan skala 1 : 5.000.
2.3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Inventarisasi Hutan berdasarkan
prinsip pada angka 2.1. di atas, dan sekaligus membuat peta kontur dan peta
sebaran pohon skala 1 : 1.000.
3.
Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
3.1.
Prinsip
Efisien,
efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
3.2.
Perencanaan
1)
Buat rencana PWH berdasarkan peta blok RKT.
2)
Buat rencana trace jalan angkutan dan jalan sarad berdasarkan peta kontur hasil
Inventarisasi Hutan.
3)
Buat rencana lokasi base camp, TPK, TPn, pondok kerja, dan lainlain.
3.3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
berdasarkan prinsip pada angka 3.1. di atas.
4.
Pengadaan Bibit
4.1.
Prinsip
Menggunakan
bibit jenis lokal unggulan setempat, dapat berasal dari biji, atau cabutan,
atau stek, atau kultur jaringan.
4.2.
Perencanaan
1)
Buat rencana persemaian: lokasi, sumber bibit (pohon plus), bangunan, SDM,
peralatan.
2)
Buat rencana kebutuhan bibit.
4.3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pengadaan Bibit berdasarkan prinsip
pada angka 4.1. di atas.
5.
Tebang Naungan
5.1.
Prinsip
1)
Pembebasan dari naungan pohon dominan.
2)
Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
3)
Penebangan pohon diameter > 40 cm dan masuk ke dalam target RKT.
5.2.
Perencanaan
1)
Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran pohon skala 1 : 1.000.
2)
Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT yang telah disahkan.
5.3.
Pelaksanaan
1)
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Tebang Naungan berdasarkan prinsip
pada angka 5.1. di atas.
2)
Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku.
6.
Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam
6.1.
Prinsip
1)
Membuat ruang tumbuh.
2)
Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
3)
Penebangan dapat dilakukan pada semua pohon dalam jalur dan masuk ke dalam
target RKT.
6.2.
Perencanaan
1)
Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran pohon skala 1 : 1.000.
2)
Membuat jalur tanam dengan jarak antar sumbu jalur + 20 meter dan jarak tanam
dalam jalur + 5 meter.
3)
Membuat jalur tanam selebar + 3 meter.
4)
Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT yang telah disahkan.
6.3.
Pelaksanaan
1)
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Penyiapan dan Pembuatan Jalur
Tanam berdasarkan prinsip pada angka 6.1. di atas.
2)
Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku.
7.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur
7.1.
Prinsip
1)
Meningkatkan produktivitas pada blok RKT.
2)
Menggunakan bibit jenis lokal unggulan setempat.
7.2.
Perencanaan
1)
Buat dan kelola tanaman dengan mengutamakan bibit jenis unggulan lokal.
2)
Buat peta rencana penanaman dalam jalur.
7.3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur
berdasarkan prinsip pada angka 7.1. di atas.
8.
Pembebasan dan Penjarangan
8.1.
Prinsip
1)
Meningkatkan riap pohon binaan.
2)
Pohon binaan bisa berasal dari permudaan alam dan tanaman jalur.
8.2.
Perencanaan
1)
Menetapkan pohon terbaik dari permudaan alam di jalur antara dan dari tanaman
di jalur tanam sebagai pohon binaan di petak kerja.
2)
Membebaskan pohon binaan dari tanaman penyaing.
3)
Membuat peta pohon binaan hasil pembebasan.
8.3.
Pelaksanaan
1)
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Pembebasan dan Penjarangan
berdasarkan prinsip angka 8.1. di atas.
2)
Pembebasan pohon dapat menggunakan antara lain arborisida yang ramah lingkungan
khusus pohon besar.
9.
Pemanenan
9.1.
Prinsip
1)
Pemanenan dengan tebang habis pada jalur tanam dan tebang pilih pada jalur
antara untuk pohon diameter > 40 cm.
2)
Memanen tidak boleh melebihi riap.
3)
Efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.
9.2.
Perencanaan
1)
Penebangan dilakukan berdasarkan peta sebaran pohon binaan skala 1 : 1.000.
2)
Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT
9.3.
Pelaksanaan
1)
Buat Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Pemanenan berdasarkan prinsip pada
angka 9.1. di atas.
2)
Alat-alat pemanenan mengikuti peraturan yang berlaku.
10.
Perlindungan dan Pengamanan Hutan
10.1.
Prinsip
1)
Pengendalian hama dan penyakit, perlindungan hutan dari kebakaran hutan,
perambahan hutan, dan pencurian hasil hutan.
2)
Memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi.
10.2.
Perencanaan
Menyusun
rencana perlindungan dan pengamanan hutan secara periodik dalam 1 periode RKT.
10.3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja Perlindungan dan Pengamanan Hutan
berdasarkan prinsip pada angka 10.1. di atas.
VI.
PEMANTAUAN DAN PENILAIAN
1.
Prinsip
1.1.
Sebagai umpan balik untuk peningkatan riap.
1.2.
Dilakukan oleh tenaga yang berkompetensi Wasganis PHPL.
1.3.
Dilakukan 1 kali dalam 1 periode RKT.
2.
Perencanaan
Buat
rencana pemantauan dan penilaian.
3.
Pelaksanaan
Buat
Prosedur Operasi Standar (POS) Kerja untuk Pemantauan dan Penilaian berdasarkan
prinsip pada angka 1 di atas